Senin, 12 Januari 2015

Kisah Sendu Seorang Istri

Pagi masih di selimuti kabut dingin berwarna
putih. Di kejauhan nampak seorang nenek
berjalan tertatih menggendong seorang bayi.
Di sampingnya berjalan dua bocah kecil
berusia empat dan tiga tahun. Nampak ketiga
bocah itu belum mandi, rambutnya kusut dan
bajunya lusuh. Terdengar rintihan lirih dari
bayi yang digendong, rupanya dia demam
tinggi sejak tadi malam. Kedua bocah
merengek minta jajan, keduanya sudah
kelaparan dari tadi subuh. Kedua bocah itu
menarik-narik tangan sang nenek yang renta.
“ Mau jajan, mau jajan… “ rengek
bocah perempuan sambil menarik tangan
sang nenek.
“ Iya sebentar warungnya belum
buka, “ jawab sang nenek lembut atau lebih
tepatnya lemah. Badannya mulai terasa
demam karena semalaman kurang tidur,
hampir sepanjang malam menggendong si
bayi yang sakit. Kedua bocah itu mengetuk-
ngetuk pintu si empunya warung, mereka
sudah tidak sabar ingin membeli jajanan. Tak
lama kemudian warung pun dibuka,
keduanya berebut memilih makanan
kesukaannya. Sang nenek pun sibuk
mengambil makanan dari tangan cucunya.
“ ambilnya satu-satu saja, uangnya
ngga cukup, “ kedua bocah pasrah pada sang
nenek, akhirnya mereka pun menikmati
makanannya.
“ Beginilah neng repot ngurus anak-
anak kecil, mana badan emak sudah tidak
kuat seperti dulu. “ Mak Ayi begitu biasa aku
menyebutnya, membuka pembicaraan
denganku yang sejak tadi mengamati mereka
berempat. Kuusap rambut bayi yang terlelap
dalam gendongannya, terasa keningnya masih
panas.
Kupandangi wajah mak Ayi yang
sudah dipenuhi kerutan, dia tetangga ibuku
yang sudah kukenal sejak kecil. Waktu masih
kecil aku sering main di rumahnya dan
membantu membungkus jualannya. Aku
sering mendapat upah dari mak Ayi dan
suaminya.
Putri ke lima mak Ayi seorang
perempuan, sifatnya agak berbeda dengan
kakak-kakaknya. Dia agak keras kepala dan
pemberani. Putri bungsu mak Ayi inilah yang
punya kisah tragis, dia ibu dari tiga bocah
kecil tadi.
“ Mak mau lagi, mau lagi, “ terdengar
teriakan yang diiringi tangisan dari bocah
lelaki berusia empat tahun itu. Dia menarik-
narik tangan mak Ayi yang sempoyongan
menahan keseimbangan badannya.
“ Uangnya habis jang, “ mak Ayi
berusaha membujuk cucunya yang histeris,
namun sia-sia sang cucu terlanjur histeris.
“ Mak ini untuk jajan anak-anak, “
aku menyodorkan uang dua puluh ribuan.
Belum sempat mak Ayi ngambil, uang itu
disamber sang bocah yang mendadak berhenti
nangisnya. Dia langsung berlari mendekati
warung disusul adik perempuannya. Mereka
memborong makanan yang disukainya dan
kembali asyik memakannya. Perih sekali hati
ini melihat mereka yang kelaparan, harusnya
mereka makan nasi biar kenyang. Tapi kata
mak Ayi anak-anak itu lebih senang jajan
daripada makan.
“ Beginilah Neng nasib Emak, sehari-
hari repot ngurus mereka, “ katanya sambil
mengusap wajahnya dengan ujung jarit.
“ Kalau bukan Emak siapa lagi yang
mau mengurus mereka ? “ lanjut mak Ayi
seperti bertanya pada dirinya sendiri.
“ Bapanya kemana Mak ? “ tanyaku
memberanikan diri.
“ Sekali-kali Dia suka datang, ngasih
uang buat jajan tapi tidak tiap hari. Emak
enggak tega memberikan anak-anak sama dia,
takut terlantar. “ Mak Ayi menarik nafasnya
dalam-dalam seolah ingin menghapus gundah.
“ Dia bukan suami yang baik Neng,
apalagi bapa yang baik, “ tutur mak Ayi
pelan.
“ Anak Emak yang salah pilih, kenapa
milih suami berandal begitu. “ Aku diam
mendengar penuturan mak Ayi.
“Selama menikah dengan dia, Aan
tidak pernah bahagia. Sering sekali mereka
cekcok dan berantem. “ Mak Ayi kembali
mengusap wajahnya dengan ujung jarit
lusuhnya.
“ Bukan tambah baik, setelah
menikah Aan tambah rusak. Sering diajak
mabuk-mabukan.” Mak Ayi melanjutkan
ceritanya dengan nelangsa, semilir anging
dingin yang menyapu wajahnya tak sanggup
menyejukan batinnya.
“ Yang lebih membuat hati Emak
perih, tega-teganya dia menjual Aan sama
lelaki lain. “ Deg jantungku terasa berhenti,
mendengar alunan suara mak Ayi yang ibarat
sembilu menyayat hatiku. Aku pernah
mendengar kasak-kusuk tentang cerita Aan
dari beberapa tetangga. Tapi kuanggap hanya
gossip murahan,
Suami Aan tidak jelas dari mana
asalnya, mereka berkenalan di terminal dan
akhirnya merajut cinta sampai membuahkan
benih. Lelaki durjana itu mau melarikan diri
begitu tahu Aan berbadan dua. Tapi
untungnya salah seorang kerabat Aan
mencegahnya dan memaksanya untuk
menikahi Aan. Cerita kelam mereka tidak
sampai disitu. Setelah menikah dan
melahirkan bayi perempuan, Aan sering
dipaksa dijual pada laki-laki hidung belang.
Bahkan ketika baru selesai nifas pasca
melahirkan anak bungsunya Aan dijual pada
turis Timur Tengah yang kerap berkunjung ke
daerah wisata di kampungku. Setelah itu Aan
pun jatuh sakit, badannya menggigil. Sejak
saat itulah Aan sering menolak ajakan
suaminya untuk ‘dijajakan’. Cerita ini
menjadi rahasia umum, semua orang
sekampung sudah tahu. Banyak sudah yang
menasehati mereka, tapi dianggap angin lalu.
“Mungkin Aan memang lebih baik
mati saja, Neng, daripada hidup terus berbuat
dosa dan terus menerus disiksa suaminya.“
Tutur mak Ayi dengan linangan air mata yang
tidak sanggup dibendungnya lagi.
“ Dua bulan sebelum meninggal Aan
disiksa suaminya habis-habisan, Emak dan
Abah tidak bisa menolong karena takut sama
suaminya yang kalap. Aan sempat ditendang
ulu hatinya, dicekik dan ditampar. “ Aku
semakin tergugu mendengar cerita ini, seperti
bukan kisah nyata laksana kisah sinetron
saja.
“ Dari yang Emak dengar dari mulut
Aan, dia tidak mau dijual lagi sudah cape dan
malu.”
“ Penolakan Aan itulah yang
membangkitkan amarah suaminya, Dia seperti
kesetanan menghajar Aan di depan mata
anak-anaknya sendiri.“ Air mata mak Ayi
semakin tidak terbendung, hatinya hancur
berkeping-keping.
“Sejak saat itu Aan sering mengeluh
sakit perutnya dan sejak saat itu lelaki bejat
itu pergi entah kemana. Mereka akhirnya
bercerai.“ Mak Ayi menghapus butir-butir
bening di pipinya dengan ujung jaritnya.
Aan gadis belia yang pernah menjadi
muridku begitu dramatis kehidupannya. Anak
lugu dibajak zaman yang semakin edan, yang
siap menerkam dan melumat siapa saja yang
lengah. Masih terbayang wajahnya yang
manis berbalut kerudung putih pemberianku,
mengeja huruf demi huruf kalam Illahi. Mulut
mungilnya fasih melantunkan do’a-do’a yang
diwariskan Baginda Nabi. Pengalaman masa
kecil yang indah, belajar ngaji di surau kecil
tak mampu menjadi benteng teguh
menghadapi serbuan zaman. Dia terseret
pergaulan kelam yang membenamkannya
pada lumpur hitam kehidupan. Tak ada yang
sanggup menolongnya, termasuk kedua orang
tuanya yang sudah renta. Hidupnya berakhir
dramatis dengan masih meninggalkan aneka
cerita yang akan dilakoni ketiga buah
hatinya. Bocah malang yang menjadi saksi
kelamnya kehidupan sang bunda. Bocah
malang yang tak bisa merasakan hangatnya
pelukan orang tua. Bocah nan malang yang
harus menjadi piatu, kehilangan sang bunda
yang sangat dibutuhkannya.

0 komentar:

Posting Komentar